Ekosistem Hutan Mangrove di Pulau
Sebuku, Kalimantan Selatan
Ekosistem
mangrove merupakan suatu ekosistem khas di wilayah pesisir yang merupakan
tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara komponen abiotik seperti
senyawa anorganik, organik dan iklim (pasang surut, salinitas, dan lain-lain)
dengan komponen biotik seperti produsen (vegetasi, plankton), konsumen makro
(serangga, ikan, burung, buaya, dan lain-lain. Hutan mangrove sebagai bagian
dari ekosistem mangrove telah mengalami penurunan, baik dalam hal kualitas
fungsi ekosistem mangrove maupun kuantitas berupa penurunan kualitas fungsi
ekosistem mangrove maupun kuantitas berupa penurunan hutan mangrovenya. Laporan
FAO (2007) bahwa telah terjadi degrasai hutan mangrove dunia seluas 5 juta
hektar (20%) dalam kurun waktu 20 tahun. Sedangkan Hence (2010) melaporkan
degradasi hutan mangrove di Indonesia adalah seluas 35% dalam kurun waktu 18
tahun. Terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove tersebut
disebabkan oleh adanya kegiatan eksploitasi hutan yang berlebihan; konversi
hutan menjadi areal pertanian, permukiman, industri dan sebagainya;
kontaminasi; bencan alam; serta kenaikan muka laut akibat pemanasan global.
Indonesia
memiliki hutan mangrove terluas di tingkat dunia, yaitu 19%. Hutan mangrove di
Indonesia memiliki luasan sebesar 3.244.018,64 ha yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia, yang termasuk hutan mangrove di Pulau Sebuku Kalimantan
Selatan seluas sekitar 3.341 ha. Hutan mangrove Pulau Sebuku merupakan bagian
dari kawasan suaka alam tipe ekosistem mangrove yang berada di kawsan Cagar
Alam Selat Sebuku di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam
Kalimantan Selatan. Sebagai bagian dari kawasan suaka alam, hutan mangrove
Pulau Sebuku perlu dilindungi dan perkembangannya harus berlangsung secara
alami. Keberadaan hutan mangrove sangat penting, berfungsi sebagai habitat dari
berbagai jenis makhluk hidup seperti kepiting, moluska, udang, burung, dan
serangga; sebagai areal perlindungan dan pembibitan ikan-ikan juvenile; serta
menghasilkan produk kayu dan non kayu seperti arang, makanan ternak, kayu
bakar, makanan dan obat-obatan. Selain itu, hutan mangrove juga menghasilkan
berbagai jasa lingkungan, seperti menstabilkan garis pantai (perlindungan
terhadap abrasi), mengendalikan kualitas air (perlindungan terhadap instrusi
air laut dan pemurnian air tercemar), dan memitigas perubahan iklim global
(ekosistem yang sangat produktif untuk mengurangi CO2 di atmosfer).
Hutan mangrove dapat menyerap CO2 sebesar
500-600 ton CO2/ha/tahun (Cahyaningrum et al. 2014).
Hutan
mangrove Pulau Sebuku merupakan baguan dari Cagar Alam Selat Sebuku yang
termasuk wilayah kerja Seksi Konservasi III Balik Konservasi Sumberdaya Alam
Kalimantan Selatan. Secara geografis, kawasan ini terletak antara 03°23’ -
03°38’ LS dan 116°15’ - 116°24’ BT. Secara adminstratif, hutan mangrove Pulau
Sebuku berada di wilayah Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi
Kalimantan Selatan. Hutan mangrove di Pulau Sebuku memiliki bentuk wilayah
dataran datar dengan kemiringan lahan di bawah 3% didominasi bentuk lahan (landfrom) dataran lumpur pasang surut
bervegetasi mangrove dan nipah yang menyebar di sisi barat pulau memanjang dari
ujung utara sampai selatan pulau. Bahan induk di hutan mangrove Pulau Sebuku
berupa bahan endapan aluvial dan marin. Bahan induk alluvial dan marin tersebut
merupakan bahan hasil pengendapan dari bahan-bahan yang terbawa air dari bagian
tengah berlereng (bahan alluvial) yang letaknya pada daratan pelembahan dan
pantai yang terpengaruh oleh aktivitas laut (endapan marin) yang letaknya pada
daratan pantai sepanjang sisi barat pulau.
Pulau
sebuku memiliki karakteristik sungai utama yang mengalir ke daerah alluvial di
Selat Sebuku yang berada di sebelah barat. Terdapat tujuh muara sungai di
sebelah barat Pulau Sebuku yang merupakan lokasi keberadaan hutan mangrove,
antara lain: Tanjung Mangkok, Sungai Bali, Sungai Dungun, Sungai Sekaman,
Sungai Selamet, Sungai Merah, dan Sungai Tarusan. Hutan mangrove Pulau Sebuku
berada di sepanjang sisi barat dari utara sampais selatan Pulau Sebuku dengan
presentasi 15,4% dari luas pulau. Lokasi hutan mangrove Pulau Sebuku berada
berdekatan dengan area kuasa pertambangan PT Bahari Cakrawala Sebuku (BCS), PT
Karbon Mahakam (KM), PT Metalindo Bumi Raya (MBR), dan PT Sebuku Iron
Lateristic Ore (SILO). Hutan mangrove Pulau Sebuku memiliki 35 jenis satwa liar
yang terdiri atas 7 jenis mamalia, 4 jenis reptilian, dan 24 jenis aves.
Sebanyak 14 jenis satwa liar diantanya termasuk kedalam golongan satwa liar
yang dilindungi.
Hutan
mangrove Pulau Sebuku memiliki 10 jenis mangrove, yang terdiri atas 8 jenis
berupa pohon mangrove dan permudaanna (Bruguiera
gymnorrhiza, B. parviflora, Ceriops tagal, Rhizophora apiculate, R. mucronata,
Sonneratia alba, Hertiera littoralis, Xylocarpus granatum), 1 jenis berupa
palem-paleman (Nypa fruticans), dan 1
jenis berpa tumbuhan bawah (Acrostichum
aureum). komposisi flora serta struktur dan penampakan umum hutan,
komunitas hutan mangrove Pulau Sebuku memiliki 3 tipe, antara lain: komunitas
mangrove menyemak (bakau-perepat), komunitas mangrove muda (bakau dan
bakau-lengadai), dan komunitas nipah.
Hutan mangrove Pulau Sebuku memiliki
kondisi ekosistem yang sangat rentan dari gangguan, baik dari aktivitas
pertambangan batubara dan bijih besi disekitarnya maupun illegal logging yang dilakukan masyarakat sekitar untuk dibuta
rumah maupun perahu untuk mencari ikan. Adanya gangguan tersebut menyebabkan
gangguan terhadap keregaan hutan mangrove maupun faktor lingkungan fisiknya,
sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya pada fungsi ekosistem mangrove.
Oleh karena itu , perlu adanya kegiatan rehabilitasi da restorasi agar
ekosistem hutan mangrove Pulau Sebuku dapat lestari. Di sisi lain, sebagai
cagar alam, perkembangan hutan mangrove Pulau Sebuku harus berlangsung alami,
tidak boleh dilakuka kegiatan rehabilitasi yang dimaksudkan untuk menjaga
kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta
ekosistemnya. Jika pemulihan hutan mangrove dibiarkan secara alami dan tekanan
gangguan dari illegal logging serta
pertambangan berlangsung terus menerus, maka tidak menutup kemungkinan
ekosistem hutan mangrove Pulau Sebuku akan rusak. Oleh karena itu, perlu
dilakukan perubahan fungsi kawasan yang dapat dilakukan rehabilitasi maupun
restorasi dalam rangka pemulihan, seperti: suaka margasatwa, taman hutan raya,
atau taman wisata alam.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyaningrum ST, Hartoko
A, Suryatni. 2014. Biomassa karbon
mangrove pada kawasan mangrove Pulau Kemujan Taman Nasional Karimunjawa. Diponegoro
Journal of Maquares. III (3): 34–42.
[FAO] Food and
Agricultural Organization of United Nations. 2007. The World’s Mangrove
1980-2005: A Thematic Study in The Framework of The Global Forest Assestment 2005.
Rome (IT): FAO.
Ghufrona, Raden Rodlyan.
2015. Keragaan Komposisi Jenis dan
Struktur Hutan Mangrove Serta Faktor Lingkungan Fisik yang Mempengaruhinya di
Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Hence J. 2010. NASA images reveal disappearing mangrove
worldwide [internet]. [diacu 2014 Februari 28]. Tersedia dari: http://news.mongabay.com/2010/1201-hance_nasa_mangroves.html.